Sepakbola selama beberapa dekade terakhir telah menjadi tontonan menarik di berbagai belahan dunia. Tidak hanya menyuguhkan aksi individu dari setiap pemain, sepakbola juga sarat akan duel strategi/taktikal dari kedua tim. Tidak hanya berusaha untuk menjaringkan bola di jala lawan, sepakbola juga menitikberatkan permainannya pada membangun pertahanan yang kokoh, demi menghindari kemasukan gol dari penyerang lawan. Inilah yang membuat sepakbola lebih dari sekadar olahraga, karena layaknya seniman, para pemain saling berkreasi demi menciptakan sebuah mahakarya permainan yang indah dan layak untuk ditonton.
Sepakbola sederhananya disusun oleh dua kata, yaitu menyerang dan bertahan. Tidak ada artinya sebuah tim berhasil menyarangkan banyak gol, tetapi memiliki lini pertahanan yang keropos. Demikian pula sebaliknya, pertahanan yang kokoh tidak memberi dampak apau Pada praktiknya sendiri, sebuah tim yang memiliki build-up serangan yang baik tentu akan berusaha mengalirkan bola dari belakang terlebih dahulu, sebelum akhirnya diteruskan ke depan sebagai upaya mencetak gol ke gawang lawan. Oleh karena itu, para pemain belakang dapat mengakali through pass atau long pass ke depan dengan salah satu metode bertahan yang cukup terkenal, yaitu “offside trap” atau di Indonesia dikenal dengan nama ‘jebakan offside’.
Skema ‘perangkap offside’ adalah salah satu dari sekian teknik bertahan paling lawas, yang bertujuan untuk menyulitkan striker lawan menembus pertahanan lawan. Offside sendiri adalah kondisi dimana penyerang lebih dekat ke gawang lawannya daripada bola dan lawan kedua hingga terakhir. Jebakan offside apabila terealisasi dengan apik berhasil mematikan pergerakan striker lawan sehingga meminimalisasi terjadinya gol.
Pada awal abad ke-20, tim-tim sepakbola mengadopsi ‘jebakan offside’ sebagai taktik jitu pertahanan mereka. Jebakan offside biasanya diawali dengan memastikan bek-bek mereka berada sejajar satu sama lain dan membentuk garis lurus. Hal ini demi memastikan garis pertahanan bergerak serempak selama kondisi defensif.
Ketika lawan hendak memberi umpan terobosan ke depan, seorang bek sentral (komando pertahanan) biasanya akan menginstruksikan para pemain belakang untuk segera maju ke depan agar posisi lawan yang hendak diberi umpan berada pada posisi offside. Sederhana memang, tapi skema seperti ini terus berhasil, tentu lawan akan merasa kerepotan dalam membongkar pertahanan dan membuat striker lawan merasa frustrasi, karena suplai bola yang mandek dari lini tengah. Walhasil, zona bertahan akan steril dari penyerangan sehingga gawang bebas dari kebobolan.
Akan tetapi, jebakan offside mudah secara teoretis, namun kompleks secara praktikal. Dibutuhkan pemahaman akan timing bergerak yang tepat agar striker benar-benar terperangkap dalam jebakan yang sudah dirancang. Tidak jarang terjadi kegagalan perangkap offside di sepakbola, yang bukannya berhasil mengantisipasi serangan, malah justru memberi keuntungan bagi lawan yang onside (lolos dari offside trap) untuk memberi tim nya keunggulan skor.
Faktor umum kegagalan jebakan offside biasanya adalah pemain yang terlambat turun sehingga memberi celah bagi penyerang untuk memanfaatkan momen ini. Kegagalan semacam ini biasa dipengaruhi oleh konsentrasi pemain yang menurun seiring pertandingan, miskomunikasi lini belakang, atau backpass yang tidak sempurna.
Kegagalan dalam melakukan offside trap ini sendiri jelas berakibat fatal. Ketika semua pemain lini belakang maju ke depan, tetapi penyerang justru lolos dari jebakan offside, maka lahirlah petaka untuk kiper. Ruang kosong yang diciptakan memberi keuntungan bagi penyerang lawan. Apabila kiper tidak mampu mengantisipasi situasi 1v1 — maka gol akan tercipta dan memberi keunggulan bagi lawan.
Sepakbola saat ini memang sangat jarang menjadikan perangkap offside sebagai taktik primer untuk bertahan. Apalagi, taktik bertahan saat ini sangat banyak dan variatif, seperti Liverpool dengan Gegenpress nya atau Atletico dengan Cattenacio nya. Namun, ini bukan berarti menghilangkan teknik ‘perangkap offside’ sepenuhnya, melainkan melahirkan perangkap offside dengan pendekatan yang lebih baik.
Fakhri Husaini, pelatih timnas U-16, mengamini bahwa memang strategi offside trap saat ini tidak lagi lazim dipakai karena risiko yang besar. Fakhri sendiri mengakui ada dua faktor besar yang membuat penerapan “jebakan offside” di permainan sangatlah rumit.
Sebenarnya, kesulitan dari strategi (offside trap — red) ini sendiri terletak di komunikasi dan pergerakan tanpa bola pemain lawan. Jika para pemain belakang mampu mengatasi hal ini, tentu saja ini bisa menjadi keuntungan yang sangat baik dalam bertahan.
Fakhri juga menambahkan ada tiga hal yang senantiasa penting dijaga dalam menjalankan ‘perangkap offside’ di lapangan hijau. Tiga hal tersebut adalah : 1) posisi pemain belakang, 2) posisi penyerang dan sayap lawan, dan 3) kemungkinan arah bola dimainkan. Oleh karena itu, pengalaman permainan dan chemistry line belakang sangat berpengaruh dalam suksesnya perangkap offside itu sendiri. Akan tetapi sebagai pelatih dirinya tidak akan ngotot bermain dengan strategi ini terus-menerus.
Permainan 90 menit di lapangan itu capek dan mengurus tenaga. Boleh jadi metode (jebakan offside) ini efektif, tetapi saya sebagai coach lebih tertarik untuk menggunakan startegi yang lebih aman ketimbang bermain dengan pertahanan agresif selama bermain.
Well, sangat menarik bukan? Benar sekali, disatu sisi jebakan offside sepintas memang sangat merusak ritme permainan lawan, namun, dengan risiko yang sedemikian besar, apakah impas rasanya? Efektif atau tidak, semua nya kembali ke kebijakan masing-masing tim. Yang jelas, bermain sepakbola tidak semudah seperti kita tonton di layar kaca. Ketahanan fisik dan mental turut berpengaruh di dalamnya. Dan, biarlah kita penonton menikmati nya selagi sepakbola masih ada dan kita bebas menikmatinya.